Ikatan pernikahan bukan saja merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, tapi juga merupakan sarana untuk memperoleh keturunan. Karena itu, Islam sangat melarang pembatasan keturunan melalui proses pemandulan tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan secara hukum syara’. Demikian dikemukakan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Drs. H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Sc menanggapi pertanyaan sejumlah umat Islam tentang KB dengan cara vasektomi dan tubektomi.
Dikemukakan, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menikah dan melarang keras untuk hidup melajang. Beliau bersabda:
“Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan banyak kasih sayangnya. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku (kepada para Nabi lainnya) di hari kiamat.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Hadits tersebut memberikan motivasi kepada setiap orang muslim untuk bersegera menikah dan kemudian mempunyai banyak keturunan. Ada beberapa orang yang khawatir, jika memiliki banyak keturunan akan membawa kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan alasan karena, misalnya, pendapatannya terhitung pas-pasan.
Kekhawatiran seperti ini sebetulnya wajar, tapi sesungguhnya setiap anak yang dilahirkan pasti telah ditentukan rizkinya oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an:
“…Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, …” (QS. Al-An’am 6:151)
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al-Isra’ 17:31)
Namun demikian perlu juga diingat bahwa ajaran agama Islam juga mewajibkan kepada kepala keluarga untuk memberikan nafaqoh (nafkah) kepada keluarganya, baik nafaqoh dhohiriyah (nafkah fisik), misalnya mencukupi sandang, pangan, papan, dan kesehatannya, ataupun nafaqoh ruhiyah (nafkah batin), misalnya pendidikan, pengetahuan agama dan sebagainya. Sehingga ajaran agama Islam bukan hanya memotivasi umatnya agar mempunyai banyak keturunan, tetapi juga menekankan agar keturunan tersebut dapat hidup secara berkualitas, baik dhahirnya maupun batinnya. Tetapi pemberian nafkah itu sesuai dengan kemampuan kepala keluarga dan tidak dipaksakan harus memenuhi di atas kemampuannya. Allah berfirman:
“… dan wajib kepada orang tua untuk memberikan rizki dan pakaian kepada anak-anaknya dengan ma’ruf. (Tetapi) tidak dibebankan (kewajiban itu) keculi sesuai dengan kemampuanya …” (QS. Al-Baqarah 2:233).
Dengan dasar pemikiran seperti itu para ulama membolehkan Keluarga Berencana (KB) dengan pertimbangan bahwa KB dapat menjadi sarana (washilah) untuk mengupayakan adanya keturunan yang lebih berkualitas. Para ulama berijtihad bahwa KB merupakan bentuk dari tanzhim an-nasl (merencanakan keturunan) dan bukan merupakan tahdid an-nasl (memutus keturunan, pemandulan). Karenanya, tanzhim an-nasl hukumnya mubah (boleh dilakukan) dan tahdid an-nasl hukumnya haram.
Namun yang menjadi persoalan adalah tata cara KB saat ini banyak mengalami perkembangan. Saat ini ada banyak macam tata cara KB, misalnya dengan menggunakan suntik, minum pil, menggunakan kondom, melakukan ‘azl (ketika akan ejakulasi mencabut kemaluan dan mengeluarkan sperma di luar) dan menggunakan spiral. Begitu juga ada dengan cara vasektomi atau tubektomi. Karenanya, KB yang saat ini berkembang tidak serta merta dapat digolongkan sebagai tanzhim an-nasl yang dibolehkan, tapi juga ada yang bisa digolongkan sebagai tahdid an-nasl yang diharamkan, tergantung tata cara KB yang dipergunakan.
Oleh karenanya, saat ini para ulama dalam menghukumi KB akan melihat terlebih dahulu (tafshil). Jika KB yang dipakai masuk dalam kategori tanzhim an-nasl (merencanakan keturunan, tidak pemandulan secara tetap sehingga memungkinkan untuk memperoleh keturunan lagi) maka hukumnya boleh (mubah). Sedangkan jika KB yang dipakai masuk dalam kategori tahdid an-nasl (memutus keturunan, di mana menyebabkan pemandulan tetap) maka hukumnya haram. Vasektomi dan tubektomi termasuk dalam kategori tahdid an-nasl karena merupakan upaya pemandulan tetap dengan memotong saluran sperma. Oleh karenanya hukumnya haram, sebagaimana fatwa MUI pada tahun 1979 dan dikukuhkan kembali pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia ke III tahun 2009.
Diakui, bahwa saat ini ada yang membolehkan vasektomi dengan alasan ditemukannya teknologi yang memungkinkan disambung kembali saluran sperma yang telah dipotong (rekanalisasi). Sehingga menurut pendapat ini alasan hukum (’illah) keharaman vasektomi, yakni pemandulan tetap, dapat dihilangkan, sehingga hukum vasektomi menjadi boleh (mubah), sesuai dengan kaidah: “Hukum sesuatu tergantung pada ada-tidaknya alasan hukumnya.” “Hilangnya hukum sesuatu disebabkan oleh hilangnya alasan hukum (‘illah)nya.”
Namun MUI tidak setuju dengan pendapat ini. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia tahun 2009 yang diikuti oleh sekitar 750 ulama dari seluruh Indonesia tetap mengharamkan vasektomi, dengan alasan bahwa upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) saluran sperma yang telah dipotong tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan, sehingga vasektomi tergolong kategori tahdid an-nasl yang diharamkan. Keterangan bahwa upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) saluran sperma yang telah dipotong tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan tersebut sebagaimana penjelasan dari Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek dari bagian Obsteri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UI dan Furqan Ia Faried dari BKKBN.
Namun begitu tidak berarti sudah tidak ada jalan keluar bagi seorang perempuan yang secara tegas dinyatakan dokter sudah tidak diizinkan untuk melahirkan lagi, karena secara medis bisa membahayakan dirinya. Dalam kondisi seperti itu, maka bisa melakukan tubektomi. Walaupun hukum melakukan tubektomi adalah haram, karena merupakan pemandulan secara tetap, tetapi melihat kondisi seorang perempuan yang apabila hamil dan melahirkan akan membahayakan dirinya, maka dalam kondisi tersebut hukum tubektomi menjadi boleh (mubah), dengan alasan dharurah (darurat, terpaksa), sesuai kaidah: “keadaan terpaksa (dharurah) dapat membolehkan sesuatu yang awalnya dilarang.”